Gus Baha selanjutnya juga menyebutkan, bahwa dalam tradisi pesantren, untuk mendalami literatur ulama terdahulu ada tradisi yang namanya pasaran. Di mana, seluruh civitas pesantren akan mengaji kitab dengan intesitas lebih banyak dibanding bulan-bulan selain Ramadhan.
“Kalau tradisi di kami, di pesantren, misalnya satu kiai ngajar 2-3 kitab setelah shalat fardu. Bisanya kalau Ramadhan ini full. Karena ini untuk melengkapi orang Indonesia dapat berkahnya Ramadhan, kalau kita belajar kitab atau membacakan kitab ke masyarakat supaya tau caranya niatnya orang dulu ketika puasa atau cara pandang orang dulu tentang puasa,” jabarnya.
Dengan padatnya kegiatan mengkaji keilmuan Islam tersebut, diharapkan seseorang dapat membekali dirinya dengan pemahaman yang lebih jernih dalam memandang Ramadhan.
“Cara pandang Ramadhan secara benar, paling tidak, kita merasa lapar. Betapa sakitnya orang miskin yang lapar, terus menghormati makan karena begitu nikmat. Ketika puasa melihat makanan yang kita sepelekan pada saat tidak puasa, ketika Ramadhan spesial semua. Bahkan air pun spesial, gedang (pisang) goreng spesial,” paparnya.
“Di sini ada syukur yang luar biasa. Itu kalau tidak baca literatur ulama terdahulu, kita tidak akan tahu,” tutupnya.***