Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 214, Pembahasan Identifikasi Identitas Buku yang Diresensi

- 19 Januari 2023, 10:35 WIB
Pembahasan Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 214, Tugas Identifikasi Teks Resensi
Pembahasan Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 214, Tugas Identifikasi Teks Resensi /

Beragam tema, beragam kisah terangkum di kumpulan cerita pendek Cerita Cinta Indonesia  ini.  Mulai  dari  jejak  sastra  hingga  cerita  pendek  teenlit  tergores  dalam  45  cerpen  buah  karya  45  penulis  yang  pasti  sudah  Anda  kenal.  Membaca  kumpulan  cerita  pendek  ini  seakan-akan  memilih  beraneka  rasa  dan  rupa  dalam  sajian  paket  lengkap. Sebabnya, ada begitu terlalu banyak kisah kehidupan yang menunggu untuk dinikmati  para  pembacanya.    Ada  kisah  cinta,  misteri,  persahabatan,  dan  beragam  tema lainnya, yang ditampilkan secara serius dan populer.

Buku ini memang menawarkan tema dan rasa yang berbeda-beda. “Nasihat Nenek” karya Clara Ng dan “Asylum” karya Lexie Xu merupakan cerpen yang mengundang rasa  mencekam.  Atmoster  horornya  sangat  terasa.  Pada  deretan    galau  maker    ada  “Rindu yang Terlalu” karya Arswendo Atmowiloto, “Gerimis yang Ganjil “ oleh Budi Maryono, “Rindu” oleh Dewi Kharisma Michellia, “Hachiko” dan “Luka yang Setia” oleh  Eka  Kurniawan,  “Muse”  oleh  Ika  Natassa  dan  “Gadis  dan  Pohon  Jambu”  oleh    M.  Aan  Mansyur.  Beberapa  penulis  terkenal  sebagai  penulis  teenlit  juga  tampil  di  buku ini,  seperti “Tabula Rasa” oleh Debbie Wijaja, “Savana” oleh Dyan Nuranindya, “Gelas di Pinggir Meja” oleh Ken Terate, “SMS” oleh Luna Torashyngu, dan “Letting Go” oleh RisTee.

Baca Juga: Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 188, Masalah dan Uraian dalam Karya Ilmiah

Ada  pula  cerpen-cerpen  menarik  lain  dan  memukau.  “Dua  Garis”  oleh  Jessica  Huawae   bisa   membuat   rasa   muak   pembacanya.   Bukan   muak   karena   kualitas   cerpennya. Akan tetapi, hal itu disebabkan oleh temanya yang memang merupakan kenyataan sebenarnya. “Persepsi” oleh Maggie Tiojakin yang bermain-main dengan persepsi  pembacanya.  “Apalah  Artinya  Nama”  oleh  Marga  T.  bisa  membuat  para  pembaca    penasaran:  berapa  persentase  kebenaran  di  cerpen  tersebut.  Terakhir  ada  “Bahagia  Bersyarat”  oleh  Okky  Madasari  bisa  membuat  pembaca  bertanya-tanya,  “Apa arti sesungguhnya dari kata bahagia itu; benarkah kita sudah merasa bahagia di kehidupan sekarang?”

Selain itu, bukan berarti cerpen-cerpen yang tidak disebutkan itu jelek, ya. Tulisan ini  bisa  terlalu  panjang  jika  harus  diulas  satu  per  satu.  Lebih  baik  pembaca  sendiri  yang membuktikannya. Saya sendiri merasa puas setelah membacanya. Bahkan, para penulis yang sebelumnya kurang saya sukai, mampu membuat saya menikmati cerita yang mereka tuturkan itu.

Sangat  jarang  sekali  novel-novel  “serius”  di  Indonesia  yang  terbit  dalam  kurun  waktu beberapa tahun terakhir yang menggunakan tokoh utama seorang anak kecil, selain  dari  novel  Mencoba  Tidak  Menyerah-nya  Yudhistira  ANM,  mungkin  hanya  novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang  menarik  apabila  membaca  cerita  sebuah  novel  “serius”  dengan  tokoh  utama  seorang anak kecil karena ia memiliki perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang baru berusia dua belas tahun menanggapi  berbagai  peristiwa  yang  terjadi  dengan  diri,  keluarga,  dan  lingkungan  sekitarnya  pada  masa  penjajahan  Jepang  dan  dengan  “kepintarannya”  ia  mencoba  untuk memecahkan persoalan tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?

Baca Juga: TERJAWAB Seperti Apa Pentingnya Kelas Interaktif untuk Pembelajaran, Pahami Berbagai Manfaat Pentingnya

Keunggulan   lain   dari   novel   ini   adalah   penggambaran   suasana   yang   detail   mengenai Kota Surabaya pada tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah  oleh  Suparto  Brata.  Kita  bisa  membayangkan  bagaimanan  keadaan  kampung  SS  Pacarkeling  yang  kala  itu  masih  “berbau”  Hindia  Belanda  karena  nama-nama  jalannya masih menggunakan nama-nama Belanda. Juga tentang bungker-bungker–perlindungan yang digunakan untuk bersembunyi kala ada serangan udara–kebetulan saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga tentang stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.

Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata jelas tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia adalah penulis yang hidup dalam tiga zaman, kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan era kemerdekaan. Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada cerita yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele.

Novel  ini  juga  diperkaya  dengan  adanya  kosakata  dan  lagu-lagu  Jepang  yang  makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Namun, uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Jadi, bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, seperti saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.

Halaman:

Editor: Kartika Kudus

Sumber: BSE Kemendikbud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah