Editorial di surat kabar nasional mengecam undang-undang baru tersebut, dengan surat kabar harian Koran Tempo mengatakan bahwa kode tersebut memiliki nada "otoriter", sementara Jakarta Post mengatakan memiliki "keprihatinan besar" tentang penerapannya.
Selama beberapa dekade, para legislator memuji pengesahan KUHP sebagai perombakan yang sangat dibutuhkan dari sisa-sisa kolonial.
"KUHP lama adalah warisan Belanda ... dan tidak lagi relevan sekarang," kata Bambang Wuryanto, kepala komisi parlemen yang bertugas merevisi KUHP kepada anggota parlemen.
Para penentang RUU tersebut telah menyoroti pasal-pasal yang mereka katakan akan mengekang kebebasan berbicara dan merupakan "kemunduran besar" dalam memastikan dipertahankannya kebebasan demokratis setelah jatuhnya pemimpin otoriter Suharto pada tahun 1998.
"Ini bukan hanya kemunduran tetapi juga kematian bagi demokrasi Indonesia," kata Citra Referandum, seorang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. "Prosesnya sama sekali tidak demokratis."
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan kepada parlemen: "Tidak mudah bagi negara yang multikultural dan multi-etnis untuk membuat hukum pidana yang dapat mengakomodasi semua kepentingan."
Para ahli hukum mengatakan bahwa sebuah pasal dalam KUHP tentang hukum adat dapat memperkuat peraturan daerah yang diskriminatif dan terinspirasi oleh syariah di tingkat lokal, dan menimbulkan ancaman khusus bagi kelompok LGBT.
"Peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia akan terjadi di daerah-daerah konservatif," kata Bivitri Susanti, dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengacu pada peraturan yang ada di beberapa daerah yang memberlakukan jam malam pada perempuan, atau menargetkan apa yang digambarkan sebagai seksualitas "menyimpang".
Undang-undang baru ini juga akan mencakup hukuman yang lebih ringan bagi mereka yang didakwa melakukan korupsi.