Portal Kudus- Peningkatan harga beras sejak sebelum bulan Ramadhan cukup menguras kantong masyarakat Indonesia. Diawali dari banyak kegagalan panen dalam negeri karena dampak perubahan iklim dan pemerintah memutuskan untuk mencari impor beras dari beberapa negara pengekspor.
Sebagai solusi jangka pendek, pemerintah menjual beras Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP) di pasar-pasar induk. Meskipun pemerintah melalui Bulog telah menyalurkan beras SPHP sebagai solusi jangka pendek, harga beras di masyarakat masih mahal.
Anggota Ombudsman menduga ada 2 hal yang menjadi penyebabnya : Beras SPHP dikemas kembali atau repacking dan dijual dengan yang tak sesuai instruksi pemerintah dan produksi yang bermasalah karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah.
Dijalankannya solusi jangka pendek masih belum menimbulkan efek terhadap penurunan harga beras, apalagi dengan adanya bulan Ramadhan yang meningkatkan konsumsi beras 20 hingga 30% menurut Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) tentunya semakin memberatkan upaya penurunan harga beras.
Lantas, bagaimana solusi untuk menurunkan harga beras?
Untuk solusi jangka menengah, pemerintah dapat menerapkan contract farming kepada para petani lokal yang diorganisir serta diawasi dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian dari kedua belah pihak. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), contract farming adalah kesepakatan antara petani dan pembeli, yang menguraikan produksi dan pengiriman produk pertanian.
Dalam implementasinya, praktek contract farming telah banyak diterapkan di Indonesia hanya saja belum menjadi gerakan yang masif dan terstruktur sehingga masih banyak kisah para petani yang berhenti menanam suatu komoditas karena hasil panen dibeli dibawah harga pasar.